“kamu makin kurus saja” kata kerabat kerjaku.
sepertinya, sudah lama aku tidak memperhatikan diriku dan tubuhku. pagi ini aku di depan kaca cukup lama. sudah mulai muncul keriput dijidatku, berkantung mata, rambut yang mulai beruban, tubuhku yang kering dan kurus. selama ini, aku sudah hidup seperti apa ya?
aku hidup seperti orang kebanyakan. kerja, makan, nonton drama, nongkrong. kata orang, aku seperti sedang menikmati hidup. tapi ketika ditanya, “kamu bahagia?” aku tidak bisa menjawab apa – apa.
kata orang, aku misterius karena jarang bicara. bahkan teman dekatku tak bisa mengerti aku orang yang seperti apa. bukankah orang yang banyak diam ternyata adalah orang yang punya otak sangat ramai?
hidup selalu memberikan 2 pilihan, iya atau tidak, senang atau sedih, hitam atau putih, bertahan atau meninggalkan, cinta atau benci.
aku memilih hilang. berada di kota baru, lingkungan baru, bertemu orang – orang baru, ganti nomor, sendiri, tenang, tidak tertekan, memulai semuanya dari 0. tapi sepertinya aku tidak diizinkan Tuhan untuk ada di jalan itu. “Tuhan, sekuat apapun aku bertahan, aku ga kuat – kuat amat kok. jadi, kenapa aku diberi jalan yang sulit untuk aku jalani..” tanyaku tiap malam.
kata orang, hatiku kosong.
“iya besok aku isi teh manis, biar aku makin manis. hahaha” jawabku bercanda.
mereka bertanya padaku, jika suatu saat keinginanmu tercapai, apa kamu tidak merasa kesepian?
“bohong kalau aku tak merasa kesepian, bohong kalau aku tak takut jika tak ada orang yang mencariku, bohong kalau aku yang apa – apa bisa sendiri jadi tak butuh bantuan. tapi, ku rasa aku sudah terlatih.”
ayah menangis menunggu di depan pintu kamar anaknya setelah ia melihat anaknya mencakar dan memukul kakinya sendiri. lama. berharap pintunya dibuka. beliau berkata, “maafin ayah, ayah ga tau bahwa kamu ternyata sesakit ini.” beberapa kali mengetuk pintu. beberapa kali pula anaknya berkata, “aku tidak mau yah. tolong jangan dilanjutkan. justru aku takut, aku yang akan menyakiti banyak orang jika ini masih dilanjutkan. aku tak apa jika disakiti, aku sudah tak merasa sakit lagi. justru aku takut jika aku yang menyakiti, tak sesuai ekspektasi, sesukanya sendiri, padahal jika bicara agama, aku tidak boleh begitu. kenapa jadi aku yang harus menanggung dosa atas keputusan ini? aku tak mau! tolong mengertilah.”
ayah hanya takut malu.
si anak meraung.
percakapan selesai. tapi proses tetap berlanjut.
pernahkah kalian ada di posisi kadang ikhlas, besoknya tidak. lalu bisa ikhlas lagi dan besoknya teringat dan jadi tak bisa ikhlas lagi?
siapapun, jangan lagi menaruh ekspektasi padaku. aku juga manusia, aku tidak sempurna, aku tidak baik. aku bisa dengan mudah membuat siapapun kecewa karena tak sesuai dengan ekspetasi yang mereka ciptakan sendiri. tolong, jangan menaruh harapan apa – apa lagi padaku. aku ingin berjalan sesuai mauku.
jika masih bertanya kenapa bersamaku tidak membuatmu bahagia, ku rasa kamu sudah tau jawabannya. bagaimana aku bisa memberi bahagia ke orang lain sedangkan aku belum bisa membuat diriku sendiri merasa tenang.
jika kamu masih bertanya apakah kehadiranmu tidak membuatku bahagia, ku rasa kamu pun sudah tau jawabannya.. bersamamu, aku seperti kembali ke ruang gelap dan sesak. aku tau kamu sudah sangat berusaha memperbaiki hingga sekarang, tapi kehadiranmu di saat aku benar – benar sudah ada di titik penghabisan.
maaf, aku mungkin tak bisa memenuhi apa yang kamu inginkan. maaf, jika sampai sekarang aku tak bisa membuatmu bahagia dan terpenuhi. maaf..
ayah, ibu, anakmu selama ini sudah berusaha memenuhi keinginan dan harapan. jadi, sekarang izinkan aku menjalani hidup sesuai dengan apa yang aku mau. maaf, bukan bermaksud durhaka, tapi aku juga manusia.